BID'AH HASANAH DAN DHOLALAH

Complete proof of The concept of “Bid’ah Hasanah and Bid’ah Dholalah” in the Classic Book

Scanned Kitab of :


1.Fathul bari (Ibn Hajar atsqalani) : Hukum Bid’ah ada 5

2.  Tahdib al asma wallughat – Syarah Muslim (Imam Nawawi)

3. Al nihayah (Ibn Athir)

4.  al-Ahkam fi Usul al-Ahkam(Hazam al-Zahiri)

5. Qawa’idul Ahkam (Imam Izzudin)

6. Manaqib Imam Syafii (Imam Al baihaqi)

7.  Muwafaqah (Ibn Taymiyah)

Fath ul Bari Ba-Sharah Sahih al-Bukhari

Fath ul Bari Ba-Sharah Sahih al-Bukhari, Published by Maktaba Dar ul Marifah, Beirut, Lebanon
Imam Ibn Hajar Asqalani (rah) said: The root meaning of innovation is what is produced without precedent. It is applied in the law in opposition to the Sunna and is therefore blameworthy. Strictly speaking, if it is part of what is classified as commendable by the law then it is a “Good innovation (hasana)”, while if it is part of what is classified as blameworthy by the law then it is blameworthy (mustaqbaha), otherwise it falls in the category of what is permitted indifferently (mubah). It can be divided into the known five categories.” “obligatory” (wajib), “forbidden” (haram), “recommended” (mandub), “disliked” (makruh), and “indifferently permitted” (mubah). [Fath ul Bari: Volume 004, Page No. 253]
Fath ul Bari Ba-Sharah Sahih al-Bukhari, Diterbitkan oleh Dar ul Maktaba Marifah, Beirut, Lebanon
Imam Ibnu Hajar Asqalani (rah) mengatakan: Akar kata dari bid’ah (inovasi) adalah apa yang diproduksi tanpa contoh/preseden. Hal ini diterapkan dalam hukum bertentangan dengan Sunnah dan karena itu tercela. Sebenarnya, jika itu adalah bagian dari apa yang diklasifikasikan sebagai terpuji/baik oleh hukum maka itu adalah sebuah “inovasi baik (Bid’ah Hasanah)”, sementara jika itu adalah bagian dari apa yang diklasifikasikan sebagai tercela oleh hukum maka “bid’ah dolalah/tercela (mustaqbaha), selain itu jatuh dalam kategori  “mubah”. Hal ini dapat dibagi ke dalam lima kategori dikenal “” wajib “(wajib),” terlarang “(haram).,” Direkomendasikan “(mandub),” menyukai “(makruh), dan” tak peduli diijinkan “(mubah). [Fath ul Bari: Volume 004, No 253 Halaman]
f45
f46

Tahdhib al-Asma’ wa al-Lughat, Imam Nawawi : Hukum Bid’ah ada 5

Tahdhib al-Asma’ wa al-Lughat, Imam Nawawi, Publish: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut/Lebanon
Shaykh al-Islam, Imam al-Nawawi said: al-Bid`ah in the Law is the innovating of what did not exist in the time of the Messenger of Allah and is divided into “excellent” and “bad” (wahya munqasimatun ila h.asana wa qabih.a). The Shaykh, the Imam on whose foremost leadership, greatness, standing, and brilliance in all kinds of Islamic sciences there is consensus, Abu Muh.ammad `Abd al-`Aziz ibn `Abd al-Salam – Allah have mercy on him and be well-pleased with him! – said toward the end of his book, al-Qawa`id [al-Kubra]: “Innovation is divided into ‘obligatory’ (wajiba), ‘forbidden’s (muh.arrama), ‘recommended’s (manduba), ‘offensive’s (makruha), and ‘indifferent’s (mubaha). The way [to discriminate] in this is that the innovation be examined in the light of the regulations of the Law (qawa`id al-shari`a).If it falls under the regulations of obligatoriness (ijab) then it is obligatory; under the regulations of prohibitiveness (tah.rim) then it is prohibited; recommendability, then recommended; offensiveness, then offensive; indifference, then indifferent.”
Imam Nawawi said Imam Bayhaqi Narrated with sound chain Imam Shafi’I said: Innovation is two types (al-bid`atu bid`atân): approved innovation (bid`a mah.mûda) and disapproved innovation (bid`a madhmûma). Whatever conforms to the Sunna is approved (mah.mûd) and whatever opposes it is abominable (madhmûm).’ He used as his proof the statement of `Umar ibn al-Khat.t.âb (ra) about the [congregational] supererogatory night prayers in the month of Ramad.ân: “What a fine innovation this is!” [Tahdhib al-Asma' wa al-Lughat, Imam Nawawi, Volume 003, Page 23]
Abu al-Asma ‘wa al-Lughat, Imam Nawawi, Publish: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut / Lebanon
Syaikh al-Islam, Imam al-Nawawi mengatakan: al-Bid `ah dalam Hukum tersebut adalah inovasi dari apa yang tidak ada pada zaman Rasulullah dan dibagi menjadi” baik “dan” buruk “(Wahya munqasimatun ila h.asana wa qabih.a). Syaikh, Imam pada yang kepemimpinannya terpenting, kebesaran, berdiri, dan kecemerlangan di semua jenis ilmu Islam ada konsensus, Abu Muh.ammad `Abd al-` Aziz ibn `Abd al-Salam – Allah merahmatinya dan menjadi well-senang dengan dia! – Mengatakan menjelang akhir bukunya, al-Qawa `id [al-Kubra]:” Inovasi dibagi menjadi ‘wajib’ (wajiba), ‘(muh.arrama) terlarang itu,’ direkomendasikan ‘s (manduba),’ ofensif ‘s (makruha ), dan ‘s acuh tak acuh (mubaha). Cara [membedakan] dalam hal ini adalah bahwa inovasi akan diperiksa dalam terang peraturan Hukum (qawa `id al-shari` a) Jika jatuh di bawah peraturan obligatoriness (ijab) maka wajib.; di bawah peraturan prohibitiveness (tah.rim) maka dilarang; recommendability, kemudian direkomendasikan, offensiveness, kemudian ofensif;. ketidakpedulian, kemudian acuh tak acuh “
Imam Nawawi mengatakan Imam Baihaqi Dikisahkan dengan rantai suara Imam Syafi’I mengatakan: Inovasi adalah dua jenis (al-`atu tawaran tawaran` Atan): inovasi disetujui (bid `a mah.mûda) dan inovasi ditolak (bid` a madhmûma). Apapun sesuai dengan Sunnah disetujui (mah.mûd) dan apa pun menentang itu keji (madhmûm). ‘Dia digunakan sebagai bukti nya pernyataan ‘Umar ibn al-Khat.t.âb (ra) tentang shalat malam [jemaat] sunnah di bulan Ramad.ân: “Betapa baiknya Bid’ah  ini” [Abu al-Asma 'wa al-Lughat, Imam Nawawi, Volume 003, Page 23]
f42
f43f44

Sahih Muslim bi Sharah Imam al-Nawawi

Sahih Muslim bi Sharah Imam al-Nawawi, Publish: Beirut: Dar al-Fikr

f47
f48f49

Imam Ibn Athir, al-Nihayah fi Garib al-Hadith wa al-Athar

Imam Ibn Athir, al-Nihayah fi Garib al-Hadith wa al-Athar, Publish: Dar al-Ihyah al-Turath al-Arabi, Beirut, Lebanon
Imam Imam Ibn Athir said: “Bid`a is two kinds: the bid`a of guidance and the bid`a of misguidance (bid`atu hudâ wa-bid`atu d.alala). Whatever contravenes the command of Allah and His Messenger : that is within the sphere of blame and condemnation. And whatever enters into the generality of what Allah or His Prophet commended or stressed: that is within the sphere of praise. Whatever has no precedent such as extreme generosity or goodness – such are among the praiseworthy acts. It is impermissible that such be deemed to contravene the Law because the Prophet has stipulated that such would carry reward when he said: “Whoever institutes a good practice in Islâm (man sanna fil-islami sunnatan h.asana) has its reward and the reward of all those who practice it.” And he said, conversely, “whoever institutes a bad practice in Islam (waman sanna fil-islami sunnatan sayyi’atan) bears its onus and the onus of all those who practice it.” [Narrated from Jarir Ibn Abd Allah al-Bajali by Muslim] Such is when the act goes against what Allah and His Messenger commanded…. It is in this sense that the hadith “every innovation is misguidance” [Bukhari, Muslim] is understood: he means, whatever contravenes the bases of the Law and does not concur with the Sunna.” [Imam Ibn Athir, al-Nihayah fi Garib al-Hadith wa al-Athar, Volume 001, Page 106-7]

Imam Ibnu Atsir, al-Nihayah fi Garib al-Hadits wa al-Athar, Publish: Dar al-Ihyah al-Turath al-Arabi, Beirut, Lebanon
Imam Imam Ibn Atsir mengatakan: “Bid` adalah dua macam: tawaran `a bimbingan dan tawaran` a dari kesesatan (bid `atu huda wa-bid` atu d.alala). Apapun bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya: yang berada dalam lingkup menyalahkan dan kutukan. Dan segala sesuatu yang masuk ke dalam umum dari apa yang Allah atau Nabi-Nya memuji atau stres: yang berada dalam lingkup pujian. Apapun tidak memiliki preseden seperti kedermawanan ekstrim atau kebaikan – seperti antara tindakan terpuji. Tidak diizinkan bahwa seperti dianggap bertentangan dengan syariat karena Nabi telah menetapkan bahwa seperti akan membawa hadiah ketika ia berkata: “Barangsiapa lembaga praktik yang baik dalam Islam (man sanna fil-islami sunnatan h.asana) memiliki pahala dan pahala dari semua orang yang melakukannya “dan dia berkata, sebaliknya,”. siapapun lembaga praktek yang buruk dalam Islam (waman sanna fil-islami sunnatan sayyi’atan) beruang tanggung jawab dan tanggung jawab dari semua orang yang melakukannya. “[Diriwayatkan dari Jarir Ibn Abd Allah al-Bajali Muslim] tersebut adalah ketika tindakan tersebut bertentangan dengan apa yang Allah dan Rasul-Nya memerintahkan …. Hal ini dalam arti bahwa hadits “setiap inovasi adalah sesat” [Bukhari, Muslim] dipahami:. Ia berarti, apapun yang bertentangan dengan dasar hukum dan tidak setuju dengan Sunnah “[Imam Ibnu Atsir, al-Nihayah fi Garib al-Hadits wa al-Athar, Volume 001, Halaman 106-7]
f50
f51f52

al-Ahkam fi Usul al-Ahkam, By Ibn Hazam al-Zahiri

al-Ahkam fi Usul al-Ahkam, By Ibn Hazam al-Zahiri, Publish, Dar al Hadith, Beirut/Lebanon
Ibn Hazam al-Zahiri on Bidah He Said: Bid`ah in the Religion is everything that did not come to us in the Qur’an nor from the Messenger of Allah , except that one is rewarded for some of it and those who do this are excused if they have good intentions. Of it is the rewardable and excellent (hasan), namely, what is originally permitted (ma kana as.luhu al-ibah.a) as was narrated from `Umar (ra): “What a fine bid`ah this is!” Such refers to all good deeds which the texts stipulated in general terms of desirability even if its practice was not fixed in the text. And of it is the blameworthy for which there is no excuse such as what has proofs against its invalidity. [al=Ahkam fi Usul al-Ahkam, Volume 001, Page No. 47]
al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam, Oleh Ibnu Hazam al-Zahiri, Publish, Dar al Hadits, Beirut / Lebanon
Ibn Hazam al-Zahiri on bidah Dia Said: Bid `ah dalam Agama adalah segala sesuatu yang tidak datang kepada kita dalam Al-Qur’an maupun dari Rasulullah, kecuali bahwa seseorang dihargai untuk sebagian dan mereka yang melakukan hal ini yang dimaafkan jika mereka memiliki niat yang baik. Dari itu adalah pahala dan sangat baik (hasan), yaitu, apa yang awalnya diizinkan (ma kana as.luhu al-ibah.a) seperti yang diriwayatkan dari Umar (ra): “betapa baiknya bidah ini! “tersebut mengacu pada semua perbuatan baik yang teks diatur dalam syarat-syarat umum keinginan bahkan jika praktiknya tidak tetap dalam teks. Dan itu adalah tercela yang tidak ada alasan seperti apa yang memiliki bukti terhadap ketidakabsahannya. [al Ahkam fi Ushul = al-Ahkam, Volume 001, No 47 Halaman]
f36
f37

PEMBAGIAN BID’AH MENURUT IMAM ‘IZZUDDIN BIN ABDUS SALAM (Kitab “Qawa’idul Ahkam fi Mashalihul Anam”)

 

Di dalam kitab “Qawa’idul Ahkam fi Mashalihul Anam” karya Imam ‘Izzuddin bin Abdussalam (wafat 660 H/ 1262 M) cetakan “Al-Maktabah Al-Husainiyah” Mesir tahun 1353 H / 1934 M juz 2 halaman 195 diterangkan sebagai berikut:Artinya: “Bid’ah adalah suatu pekerjaan yang tidak dikenal di zaman Rasulullah saw”.
Bid’ah terbagi ke dalam 5 bagian, yaitu: 1. Bid’ah Wajib, 2. Bid’ah Haram, 3. Bid’ah Sunnah, 4. Bid’ah Makruh, dan 5. Bid’ah Mubah.
Adapun cara untuk mengetahui kelima bid’ah tersebut adalah engkau harus menjelaskan tentang bid’ah berdasarkan atas kaedah-kaedah hukum syara’.
Maka seandainya engkau masuk di dalam kaedah-kaedah tentang kewajiban bid’ah, maka disebut bid’ah wajib. Seandainya engkau masuk di dalam kaedah-kaedah tentang keharaman bid’ah, maka disebut bid’ah haram. Seandainya engkau masuk di dalam kaedah-kaedah kesunnahan bid’ah, maka disebut bid’ah sunnah. Seandainya engkau masuk di dalam kaedah-kaedah kebolehan bid’ah, maka disebut bid’ah mubah.
I. Contoh Bid’ah Wajib:
1.  Sibuk belajar ilmu nahwu untuk tujuan memahami Al-Qur’an dan Hadits Nabi saw. Bid’ah tersebut hukumnya wajib, karena memelihara syari’at juga hukumnya wajib. Tidak mudah memelihara syari’at terkecuali harus mengetahui ilmu nahwu. Kata kaedah ushul fiqih: “Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajibun”. Artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka hukumnya wajib”.
2. Memelihara bahasa Al-Qur’an dan Hadits yang memiliki arti yang asing (perlu penjelasan yang tepat dan benar).
3. Pembukuan Ilmu Ushul Fiqih.
4. Al-Kalam fil Jarhi wat Ta’dil (kalam seorang perawi hadits yang menyebabkan periwayatan haditsnya ditolak atau dilemahkan terhadap suatu hadits) dengan tujuan untuk membedakan hadits yang shahih dari yang tidak shahih.
Sesungguhnya kaedah-kaedah syari’at Islam menunjukkan bahwa memelihara syari’at itu hukumnya fardhu kifayah di dalam sesuatu yang berlebih atas kadar yang ditentukan.
Tidaklah mudah memeliharta syari’at  terkecuali dengan sesuatu yang diceritakan di atas.
II. Contoh Bid’ah Haram.
Di antaranya: Golongan Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah, dan Mujassimah. Menolak terhadap mereka termasuk bid’ah yang wajib.
III. Contoh Bid’ah Sunnah.
Di antaranya: Memperbaharui pesantren dan madrasah, membangun jembatan, mengerjakan perbuatan bagus yang tidak ada di masa permulaan Islam,  mengerjakan shalat tarawih (berjama’ah), ucapan tasawuf yang mengandung pengertian yang dalam, dan ucapan di dalam perdebatan untuk mencari dalil dalam menghimpun masalah-masalah hukum dengan tujuan mencari ridha Allah swt.
IV. Contoh Bid’ah Makruh.
Di antaranya menghiasi masjid, dan menghiasi mashaf. Adapun membaca Al-Qur’an secara “Lahn (keliru dalam bacaan I’rabnya)” sekira-kira berubah lafadz-lafadznya, maka menurut pendapat ulama yang benar adalah termasuk bid’ah haram.
Contoh Bid’ah Mubah.
Di antaranya: Bersalam-salaman sesudah shalat shubuh dan ‘ashar, meluaskan yang enak-enak seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, memakai pakaian panjang, dan meluaskan lengan baju.
Sebagian bid’ah mubah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama menjadikannya bid’ah makruh, dan sebagian yang lain menjadikannya sunnah-sunnah yang dilakukan di masa Rasulullah saw dan sesudah masa beliau, seperti membaca “Isti’adzhah  
(أعوذ بالله من الشيطان الرجيم)”   di dalam shalat dan basmalah.

SCAN KITAB ASLI MANAQIB IMAM SYAFII ‘ALA IMAM BAIHAQI DAN KITAB IBNU TAYMIYAH : IMAM SYAFII BAGI 2 BID’AH (BID’AH HASANAH DAN BID’AH DLOLALAH)

Bagaimana pandangan Al-Imam asy-Syafi’i tentang Bid’ah Hasanah ?
Imam Syafi’i Rahimahullah berkata :
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ :
أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ،
وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ
Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua macam :
Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar, perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat (Bid’ah Dholalah).
Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi satu pun dari al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka perkara baru seperti ini tidak tercela (Bid’ah Hasanah).
(Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i –Jilid 1- Halaman 469).
Lihat Scan Kitab Manaqib asy-Syafi’i di bawah ini

Bukti Ibnu Taymiyah membagi Bid’ah menjadi 2 : Bid’ah hasanah dan bid’ah dlolalah (mengakui pendapat imam Syafii dan ijma ulama sunni)

Kitab : “Muwafaqah Sharih al-MMa’qul Li Shahih al-Manqul”
Penulis : Ibnu taymiyah
Halaman : 144 – 145
Tarjamah :  ” Berkata Imam Syafi’i ra. : Bidah terbagi menjadi dua, (1) bidah yang menyalahi perkara yang wajib atau sunnah atu ijma atau atsar sebagian para sahabat maka  ini disebut Bid’ah dlolalah. (2)  sedangkan Bid’ah yang bidah yang tidak menyalahi (sesuai) dengan perkara yang wajib atau sunnah atu ijma atau atsar sebagian para sahabat maka  ini disebut Bid’ah hasanah.
Reference:

SCAN KITAB ASLI MANAQIB IMAM SYAFII ‘ALA IMAM BAIHAQI DAN KITAB IBNU TAYMIYAH : IMAM SYAFII BAGI 2 BID’AH (BID’AH HASANAH DAN BID’AH DLOLALAH)

Legalitas Bid’ah Hasanah tidak pernah menjadi permasalahan dan perdebatan sebelum datang nya Wahabi, keberagaman penjelasan para ulama tentang Bid’ahbukan karena perselisihan dalam memahami hakikat Bid’ah, tapi karena kekayaan ilmu yang dimiliki oleh para ulama, tapi ketika bahasa para ulama tersebut dipahami oleh kaum yang sempit pemahaman, mulailah benih-benih perselisihan muncul dan alangkah menyesal ketika kebodohan tersebut dijadikan senjata untuk membid’ah-sesatkan amalan yang telah dilegalisasi oleh syara’ melalui dalil-dalil dhanni atau ijtihadi, dan akhirnya kata Bid’ah menjadi senjata untuk memecah-belah ummat ini.
Bagaimana pandangan Al-Imam asy-Syafi’i tentang Bid’ah Hasanah ?
Imam Syafi’i Rahimahullah berkata :
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ :
أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ،
وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ
Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua macam :
Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar, perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat (Bid’ah Dholalah).
Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi satu pun dari al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka perkara baru seperti ini tidak tercela (Bid’ah Hasanah).
(Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i –Jilid 1- Halaman 469).
Lihat Scan Kitab Manaqib asy-Syafi’i di bawah ini
Pernyataan Imam Syafi’i di atas adalah kelanjutan dari pemahaman Imam Syafi’i terhadap Hadits larangan Bid’ah, bukan malah dihantamkan dengan Hadits larangan Bid’ah, maka dapat dipahami bahwa Imam Syafi’i tidak otomatis menganggap setiap perkara baru dalam Agama itu Bid’ah Dholalah, tapi setiap perkara baru ada dua kemungkinan yaitu  apabila bertentangan dengan Al-Quran, As-Sunnah, Atsar dan Ijma’ maka itu Bid’ah Dholalah dan inilah Bid’ah yang dilarang dalam Hadits “Setiap Bid’ah sesat”.
Sementara bila perkara baru dalam Agama itu tidak bertentangan dengan Al-Quran, As-Sunnah, Atsar dan Ijma’ maka inilah Bid’ah Hasanah dan ini tidak termasuk dalam Bid’ah yang terlarang dalam Hadits “Kullu Bid’atinDholalah”.
Sangat jelas penjelasan Imam Syafi’i tentang legalitas Bid’ah Hasanah, batasan Bid’ah Dholalah adalah bertentangan dengan Al-Quran, As-Sunnah, Atsar dan Ijma’, selama sesuatu yang baru dalam Agama itu tidak bertentangan dengan 4 batasan tersebut, maka itu bukan Bid’ah Dholalah dan tidak termasuk menambah atau mengada-ngada syari’at baru, karena batasan Bid’ah Dholalah bukan pada tidak ada nash yang shorih, atau padaadakah rasul dan para sahabat telah melakukan nya.
Memahami Perkataan Imam Syafi’i Dalam Pembagian Bid’ah
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ
“Perkara baru ada dua macam”
Maksudnya : semua perkara baru baik Ibadah atau bukan Ibadah, baik Aqidah atau bukan Aqidah terbagi kepada dua macam, poin yang perlu di ingat adalah Imam Syafi’i sedang memisah dan memilah antara dua macam perkara baru yang tentu saja perkara tersebut tidak di masa Rasulullah dan para sahabat.
أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا
“salah satunya adalah perkara baru yang menyalahi Kitab (Al-Quran), atau Sunnah (Hadits), atau Atsar, atau Ijma’.”
Maksudnya : yang pertama adalah perkara baru yang menyalahi Al-Quran, As-Sunnah, Atsar dan Ijma’, poin penting di sini adalah “Yukhalifu” atau “menyalahi” jadi perkara baru itu sesat bukan karena semata-mata ia baru ada dan belum ada di masa rasul dan sahabat, tapi karena menyalahi 4 perkara di atas.
فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ
“maka perkara baru ini adalah Bid’ah Dholalah”
Maksudnya : perkara baru yang menyalahi Al-Quran atau menyalahi As-Sunnah atau menyalahi Atsar atau menyalahi Ijma’, maka inilah Bid’ah Dholalah yang terlarang dalam Hadits larangan Bid’ah, Bid’ah Dholalah bukan sesuatu yang tidak tersebut secara khusus dalam Al-Quran atau As-Sunnah atau Atsar atau Ijma’, tapi harus diperiksa dulu apakah ia menyalahi atau justru sesuai dengan Al-Quran atau As-Sunnah atau Atsar atau Ijma’.
وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا
“yang kedua, perkara baru yang baik lagi tidak menyalahi bagi salah satu dari ini (Al-Quran, As-Sunnah, Atsar, dan Ijma’)”
Maksudnya : yang kedua adalah perkara baru yang baik dan tidak menyalahi satupun dari Al-Quran atau As-Sunnah atau Atsar atau Ijma’, bukan maksud baik itu hanya dianggap baik, tapi baik di sini adalah tidak menyalahi 4 perkara tersaebut, dan poin penting di sini juga pada “Tidak menyalahi” jadi perkara baru tidak otomatis Bid’ah dan Sesat,  tapi ketika ia menyalahi salah satu dari 4 perkara tersebut, maka otomatis sesat, dan bila tidak menyalahi salah satu dari 4 perkara tersebut maka otomatis tidak sesat, baik dinamai dengan Bid’ah Hasanahatau Bid’ah Lughawi atau dengan bermacam nama lain nya.
وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ
“dan perkara baru tersebut tidak tercela”
Maksudnya : perkara baru yang tidak menyalahi Al-Quran atau As-Sunnah atau Atsar atau Ijma’ adalah Bid’ah yang tidak tercela atau di sebut juga dengan Bid’ah Hasanah.
Bid’ah Hasanah itu Syar’i atau Lughawi ?
Ini bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan, tidak berpengaruh apapun terhadap legalitas Bid’ah Hasanah, bahkan yang lebih bodoh lagi adalah mempermasalahkan adakah Bid’ah Hasanah ?,ulama pun berbeda pendapat dalam hal ini, tapi satu tujuan, ini bukan alasan untuk mengingkari Bid’ah Hasanah dalam Agama, karena walaupun Bid’ah Hasanah itu Lughawi atau Syar’i tetap saja maksudnya adalah perkara baru yang tidak bertentangan dengan Al-Quran atau As-Sunnah atau Atsar atau Ijma’, permasalahan ini hanya karena berbeda dalam memaknai Bid’ah pada Syara’.
Maksud Bid’ah pada Syara’ menurut Imam Nawawi adalah :
إحداث ما لم يكن في عهد الرسول صلى الله عليه وسلم، وهي منقسمه إلى حسنة وقبيحة
“mengadakan perkara baru yang belum ada di masa Rasulullah SAW, dan ia terbagi kepada hasanah (baik), dan qabihah (buruk)”.
Atas definisi Bid’ah pada syara’ menurut Imam Nawawi di atas, maka Bid’ah Hasanah adalah satu pembagian dari Bid’ah Syar’i, bukan Bid’ah Lughawi, kerena sesuatu yang tidak ada di masa Rasulullah dinamakan Bid’ah, tapi ada dua kemungkinan, bila sesuai dengan dalil-dalil syar’i maka itu Bid’ah Hasanah, dan bila menyalahi dalil-dalil syar’i maka ituBid’ah Qabihah atau Bid’ah Dholalah.
Maksud Bid’ah pada Syara’ menurut Ibnu Rajab adalah :
ما أحدث مما لا أصل له في الشريعه يدل عليه، وأما ما كان له أصل من الشرع يدل عليه فليس ببدعة شرعا، وإن كان بدعة لغة
“perkara baru yang tidak ada dasar dalam syari’at yang menunjuki atas nya, dan adapun perkara baru yang ada dasar dari syara’ yang menunjuki atas nya, maka ia bukan Bid’ah pada Syara’, sekalipun Bid’ah pada Lughat”.
Atas definisi Bid’ah pada Syara’ menurut Ibnu Rajab, maka Bid’ah Hasanah adalah bukan pembagian dari Bid’ah pada Syara’, tapi Bid’ah Hasanah adalah Bid’ah Lughawi, karena maksud Bid’ah pada Syara’ yang seperti ini tidak mungkin terbagi kepada Hasanah (baik), sesuatu yang tidak ada dasar dari Syara’ otomatis Buruk atau sesat.
Maka sekalipun berbeda cara memahami Bid’ah pada Syara’ dan bereda dalam mengkategorikan Bid’ah Hasanah, tapi tidak berpengaruh pada legalitas Bid’ah Hasanah dalam Agama, ini bukan alasan mengingkari Bid’ah Hasanah, apalagi menjadikan sebagi alasan untuk membid’ahkan amalan-amalan yang tidak ada di masa para salafus sholeh, tapi ada dasar dari syara’ dan tidak menyalahi dalil-dali syar’i.
Kebesaran nama Imam Syafi’i tidak sanggup mereka tantang pernyataan sikap Imam Syafi’i secara langsung, tapi mereka mempermainkan pendapat Imam Syafi’i agar sesuai selera mereka dan cocok dengan kesalahpahaman mereka, mereka beralasan bahwa Bid’ah Hasanah yang dimaksud oleh Imam Syafi’i adalah Bid’ah Lughawi, untuk tetap bisa membid’ah-sesatkan amalan seperti Tahlilan, Yasinan, Maulidan dan sebagai nya.
Padahal alasan itu tidak ada hubungan dengan pembagian Bid’ah Hasanah dari Imam Syafi’i, karena sekalipun kita maksudkan dengan Bid’ah Lughawi, tetap saja yang dimaksud Bid’ah Hasanah oleh Imam Syafi’i adalah perkara baru dalam Agama yang tidak bertentangan dengan Al-Quran, As-Sunnah, Atsar, dan Ijma’, inilah yang perlu digarisbawahi, bahwa Bid’ah Hasanah adalah sesuatu yang baru (tidak ada di masa rasulullah dan para sahabat) tetapi tidak bertentangan dengan Al-Quran, As-Sunnah, Atsar dan Ijma’, biarpun tidak ada dalil yang shorih. Wallahu a’lam.

Bukti Ibnu Taymiyah membagi Bid’ah menjadi 2 : Bid’ah hasanah dan bid’ah dlolalah (mengakui pendapat imam Syafii dan ijma ulama sunni)

Tanyakan Kpd Org2 Wahabi: Beranikah Kalian Menyesatkan Ibnu Taimiyah Yg Telah Membagi Bid’ah Kepada 2 Macam???

by AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT on Sunday, March 4, 2012 at 11:21pm ·
Kaum Wahabi mengatakan bahwa pembagian bid’ah kepada 2 bagian; bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah adalah pembagian batil (sesat), sementara Ibnu Taimiyah; “Imam tanpa tanding meraka”, mengatakan bahwa bid’ah terbagi kepada 2 bagian di atas. Dari sini anda katakan kepada orang-orang Wahabi itu; “Apakah kalian akan mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah sesat ahli bid’ah??? Terhadap para ulama Ahlussunnah; seperti Imam an-Nawawi, Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Imam al-‘Izz ibnu Abdissalam, dan lainya; kalian berani mengatakan bahwa mereka sesat karena membagi bid’ah kepada 2 bagian di atas??? Apakah kalian mengatakan Ibnu Taimiyah sesat karena telah membagi bid’ah kepada 2 baian; bid’ah hasanah, dan bid’ah sayyi’ah”???
Orang-orang Wahabi “mati kutu”….!!!!
Berikut ini adalah tulisan Ibnu Taimiyah dalam membagi bid’ah kepada 2 bagian tersebut dalam kitab karyanya berjudul “Muwafaqah Sharih al-MMa’qul Li Shahih al-Manqul”, silahkan dicek…..!!!
Kitab : “Muwafaqah Sharih al-MMa’qul Li Shahih al-Manqul”
Penulis : Ibnu taymiyah
Halaman : 144 – 145
Tarjamah :  ” Berkata Imam Syafi’i ra. : Bidah terbagi menjadi dua, (1) bidah yang menyalahi perkara yang wajib atau sunnah atu ijma atau atsar sebagian para sahabat maka  ini disebut Bid’ah dlolalah. (2)  sedangkan Bid’ah yang bidah yang tidak menyalahi (sesuai) dengan perkara yang wajib atau sunnah atu ijma atau atsar sebagian para sahabat maka  ini disebut Bid’ah hasanah.